Sabtu, 30 Oktober 2010

SAAT KOMUNITAS YANG MENGOBATI

Diposting oleh Fildzah Zhafrina di 17.46
Di sini atashi akan membahas komunitas komik..... :) yaitu Apotik Komik.

Apotik Komik sendiri – yang memberangkatkan diri sebagai komunitas dengan ketertarikan terhadap jagat komik – dalam perjalanannya yang tidak genap satu dasawarsa, telah begitu identik dengan mural (lukisan di dinding) yang menempel pada tembok-tembok kota Yogyakarta. Tak pelak, ini berkait dengan proyek seninya yang fenomenal, Sama-Sama yang berlangsung mulai tahun 2002. Diawali dari pembuatan mural di tubuh jembatan layang Lempuyangan, lalu menebar ke banyak kawasan. Pemilik otoritas kota pun melegitimasi aksi kreatif ini dengan perizinan. Dari situlah kemudian, publik ditulari oleh demam muralisasi tembok-tembok kosong dan kumuh yang ada di kampung-kampung di seantero kota. Wajah sebagian tembok kota Yogyakarta – yang 'mengutuk' diri sebagai kota seni budaya ini – menjadi marak penuh warna. Mural-mural dengan beragam karakter itu sedikit banyak telah menguatkan atmosfir kota Yogyakarta sebagai kota budaya.
Kiranya, muralisasi tembok-tembok kota yang digarap secara simultan oleh seniman bersama masyarakat 'awam' tersebut telah menggeserkan pemahaman dari aksi (dengan tendensi) estetik menjadi aksi (atau bahkan gerakan) sosial – meski dalam besaran yang terbatas. Memang ini jelas masih jauh dari skala dan implikasi sosial atas gerakan serupa yang terjadi di Chicago, Amerika Serikat lewat gerakan Wall of Respect (1967) atau Wall of Choice (1970) yang digerakkan oleh seniman dan publik yang tergabung dalam the Organization for Black American Culture (OBAC). Namun untuk konteks Indonesia, capaian seniman Apotik Komik tersebut dapat dimaknai dalam beberapa hal penting dan sungguh keren :))


 Pertama, sebagai upaya popularisasi karya seni. Nilai lebih ini adalah upaya seniman mural untuk sekaligus melakukan proyek demistifikasi seni (Eva Cockcroft, John Weber dalam Toward a People's Art, 1998). Aksi semacam ini mencoba meruntuhkan jagat 'takhayul' atas karya seni rupa yang – dalam perspektif masyarakat – telah masuk dalam perangkap stereotip sebagai "harus indah, molek, bersih, dan tak bisa disentuh" seperti halnya lukisan-lukisan di atas kanvas di ruang galeri komersial yang rapi dan dalam siraman kilauan cahaya lampu spot. Atau pemahaman bahwa karya seni hanya bisa dilahirkan oleh orang yang diberi legitimasi akademis dan sosial sebagai seniman. Lewat medium mural, kini semua warga memiliki hak kreatif untuk membuat karya seni sekaligus menyalurkan opini sebagai hak sosial-politiknya. Dengan demikian, mural telah menjadi galeri terbuka yang bisa menyuarakan kepentingan publik.

Kedua, mural diasumsikan menjadi jembatan atas upaya estetisasi ruang publik kota. Dalam konteks Yogyakarta, upaya ini telah memotong kecenderungan baku selama ini bahwa pemilik otoritas kota secara ex officio adalah juga penentu, pemilik dan pengelola tunggal keindahan kota secara keseluruhan. Ini merupakan wujud otoritarianisme tersendiri, yang antara lain terealisasi dengan proyek tamanisasi, potisasi dan kembarmayang-isasi yang kaku, norak, seragam, berbiaya mahal dengan menyingkirkan keberagaman dan partisipasi publik. Maka, mural hadir dalam kapasitasnya untuk memberi alternatif lain tentang konsep keindahan kota yang telah dipatok secara kaku dan stereotip. Di sinilah kiranya letak nilai moral pada mural: menawarkan proses penyadaran dan pendewasaan terhadap penguasa kota untuk menghargai keberagaman, dan mengajarkan tentang penghematan dana publik.

Ketiga, berkait dengan hal di atas, kehadiran mural di berbagai sudut kota telah memberi persuasi sekaligus upaya pembelajaran yang efektif kepada para penggrafiti liar untuk berbagi ruang. Dengan demikian kemunculan crime art atau street art (antara lain berbentuk graffiti) di berbagai sudut kota sedikit banyak bisa saling mengisi secara mutualistik dengan kehadiran mural. Mural relatif tidak merusak fasilitas kota atau milik perorangan karena dibuat secara terbuka dengan perizinan.

Keempat, secara pelahan maraknya kehadiran mural telah mendudukkannya sebagai simbol tempat (symbol of place). Yogyakarta tambah lagi julukannya, sebagai kota mural. Lebih dari itu, beberapa mural di kota ini telah membentuk dan menjadi sistem tanda untuk mengidentifikasi sebuah lokasi tertentu. Hal ini tak lepas dari tingkat akomodasi yang memadai dari masyarakat dan sebagian pemilik otoritas kota Yogyakarta untuk menerima mural. Berbeda, misalnya, dengan pemda Jakarta (dan mungkin kota-kota lain) yang justru alergi dan kemudian memutihkan kembali tembok-tembok kota yang bermural.

Namun sayang, komunitas ini telah menutup hikayatnya 5 tahun lalu :(. Seremoni penamatan riwayat komunitas seni rupa yang cukup populer dan fenomenal di Yogyakarta ini dilangsungkan dengan peluncuran buku tentang proyek seni mereka.

Walau begitu, warisan dari Apotik komik masih dapat di lihat menempel di tembok-tembok jogjakarta. Bahkan kesadaran untuk memiliki sense of art bagi sebagian masyarakat Yogyakarta atas kotanya pantas diapresiasi lebih lanjut.

Dan siapa tau akan muncul komunitas baru yang bisa melanjuti tugas Apotik Komik. Seperti perkara "pencurian" beberapa tembok-tembok kota oleh pemilik kapital besar yang menghapus mural seniman atau warga dan kemudian menggantinya dengan mural produk-produk rokok dan lainnya. Ini problem mental rakus dan nggragas yang telah laten mengaliri urat syaraf para pedagang dan birokrat kita.
Inilah tugas buat kita bersama, tidak di yogyakarta saja, di Jakarta dan di manapun juga di INDONESIA.

Maju terus Seni Indonesia,,,, >w<





0 komentar on "SAAT KOMUNITAS YANG MENGOBATI"

Sabtu, 30 Oktober 2010

SAAT KOMUNITAS YANG MENGOBATI

Di sini atashi akan membahas komunitas komik..... :) yaitu Apotik Komik.

Apotik Komik sendiri – yang memberangkatkan diri sebagai komunitas dengan ketertarikan terhadap jagat komik – dalam perjalanannya yang tidak genap satu dasawarsa, telah begitu identik dengan mural (lukisan di dinding) yang menempel pada tembok-tembok kota Yogyakarta. Tak pelak, ini berkait dengan proyek seninya yang fenomenal, Sama-Sama yang berlangsung mulai tahun 2002. Diawali dari pembuatan mural di tubuh jembatan layang Lempuyangan, lalu menebar ke banyak kawasan. Pemilik otoritas kota pun melegitimasi aksi kreatif ini dengan perizinan. Dari situlah kemudian, publik ditulari oleh demam muralisasi tembok-tembok kosong dan kumuh yang ada di kampung-kampung di seantero kota. Wajah sebagian tembok kota Yogyakarta – yang 'mengutuk' diri sebagai kota seni budaya ini – menjadi marak penuh warna. Mural-mural dengan beragam karakter itu sedikit banyak telah menguatkan atmosfir kota Yogyakarta sebagai kota budaya.
Kiranya, muralisasi tembok-tembok kota yang digarap secara simultan oleh seniman bersama masyarakat 'awam' tersebut telah menggeserkan pemahaman dari aksi (dengan tendensi) estetik menjadi aksi (atau bahkan gerakan) sosial – meski dalam besaran yang terbatas. Memang ini jelas masih jauh dari skala dan implikasi sosial atas gerakan serupa yang terjadi di Chicago, Amerika Serikat lewat gerakan Wall of Respect (1967) atau Wall of Choice (1970) yang digerakkan oleh seniman dan publik yang tergabung dalam the Organization for Black American Culture (OBAC). Namun untuk konteks Indonesia, capaian seniman Apotik Komik tersebut dapat dimaknai dalam beberapa hal penting dan sungguh keren :))


 Pertama, sebagai upaya popularisasi karya seni. Nilai lebih ini adalah upaya seniman mural untuk sekaligus melakukan proyek demistifikasi seni (Eva Cockcroft, John Weber dalam Toward a People's Art, 1998). Aksi semacam ini mencoba meruntuhkan jagat 'takhayul' atas karya seni rupa yang – dalam perspektif masyarakat – telah masuk dalam perangkap stereotip sebagai "harus indah, molek, bersih, dan tak bisa disentuh" seperti halnya lukisan-lukisan di atas kanvas di ruang galeri komersial yang rapi dan dalam siraman kilauan cahaya lampu spot. Atau pemahaman bahwa karya seni hanya bisa dilahirkan oleh orang yang diberi legitimasi akademis dan sosial sebagai seniman. Lewat medium mural, kini semua warga memiliki hak kreatif untuk membuat karya seni sekaligus menyalurkan opini sebagai hak sosial-politiknya. Dengan demikian, mural telah menjadi galeri terbuka yang bisa menyuarakan kepentingan publik.

Kedua, mural diasumsikan menjadi jembatan atas upaya estetisasi ruang publik kota. Dalam konteks Yogyakarta, upaya ini telah memotong kecenderungan baku selama ini bahwa pemilik otoritas kota secara ex officio adalah juga penentu, pemilik dan pengelola tunggal keindahan kota secara keseluruhan. Ini merupakan wujud otoritarianisme tersendiri, yang antara lain terealisasi dengan proyek tamanisasi, potisasi dan kembarmayang-isasi yang kaku, norak, seragam, berbiaya mahal dengan menyingkirkan keberagaman dan partisipasi publik. Maka, mural hadir dalam kapasitasnya untuk memberi alternatif lain tentang konsep keindahan kota yang telah dipatok secara kaku dan stereotip. Di sinilah kiranya letak nilai moral pada mural: menawarkan proses penyadaran dan pendewasaan terhadap penguasa kota untuk menghargai keberagaman, dan mengajarkan tentang penghematan dana publik.

Ketiga, berkait dengan hal di atas, kehadiran mural di berbagai sudut kota telah memberi persuasi sekaligus upaya pembelajaran yang efektif kepada para penggrafiti liar untuk berbagi ruang. Dengan demikian kemunculan crime art atau street art (antara lain berbentuk graffiti) di berbagai sudut kota sedikit banyak bisa saling mengisi secara mutualistik dengan kehadiran mural. Mural relatif tidak merusak fasilitas kota atau milik perorangan karena dibuat secara terbuka dengan perizinan.

Keempat, secara pelahan maraknya kehadiran mural telah mendudukkannya sebagai simbol tempat (symbol of place). Yogyakarta tambah lagi julukannya, sebagai kota mural. Lebih dari itu, beberapa mural di kota ini telah membentuk dan menjadi sistem tanda untuk mengidentifikasi sebuah lokasi tertentu. Hal ini tak lepas dari tingkat akomodasi yang memadai dari masyarakat dan sebagian pemilik otoritas kota Yogyakarta untuk menerima mural. Berbeda, misalnya, dengan pemda Jakarta (dan mungkin kota-kota lain) yang justru alergi dan kemudian memutihkan kembali tembok-tembok kota yang bermural.

Namun sayang, komunitas ini telah menutup hikayatnya 5 tahun lalu :(. Seremoni penamatan riwayat komunitas seni rupa yang cukup populer dan fenomenal di Yogyakarta ini dilangsungkan dengan peluncuran buku tentang proyek seni mereka.

Walau begitu, warisan dari Apotik komik masih dapat di lihat menempel di tembok-tembok jogjakarta. Bahkan kesadaran untuk memiliki sense of art bagi sebagian masyarakat Yogyakarta atas kotanya pantas diapresiasi lebih lanjut.

Dan siapa tau akan muncul komunitas baru yang bisa melanjuti tugas Apotik Komik. Seperti perkara "pencurian" beberapa tembok-tembok kota oleh pemilik kapital besar yang menghapus mural seniman atau warga dan kemudian menggantinya dengan mural produk-produk rokok dan lainnya. Ini problem mental rakus dan nggragas yang telah laten mengaliri urat syaraf para pedagang dan birokrat kita.
Inilah tugas buat kita bersama, tidak di yogyakarta saja, di Jakarta dan di manapun juga di INDONESIA.

Maju terus Seni Indonesia,,,, >w<





0 komentar:

 

CHEER UP!! がんばって~ Copyright © 2009 Paper Girl is Designed by Ipietoon Sponsored by Online Business Journal