Keinichi yang bajunya kutarik tiba-tiba itu pun duduk kembali. Ia mengernyitkan alisnya.
“Kenapa, Haruka? Main monopolinya kan udah selesai. Kamu kan yang menang...”, ucapnya heran.
Ya, kami memang baru saja selesai bermain di ruang TV apartement ku. Kami memang sering menghabiskan waktu bersama, terutama dengan bermain game. Dan selalu aku yang menang. Tapi…. kemenanganku kini tak membuat ku bahagia. Entah kenapa….
Keinichi tersenyum penuh tanya. Ia duduk menungguku mengucapkan sepatah kata. Tapi aku hanya diam saja, tertunduk menatap karpet merah yang kami duduki. Yang pasti perasaan ku sangat sakit dan tidak enak.
“Aku….”, aku menahan nafasku. “Jangan pergi dulu Keinichi!!”, lanjutku terbata-bata.
Keinichi kaget karena aku tiba-tiba berkata dengan suara keras. Ia kebingungan dan tampak terburu waktu.
“Aku tidak bisa…. Aku sudah ada janji. Aku dan Yume akan ketemuan di Café Meido siang ini”. Keinichi tampak sibuk melihat jam tangan. Ia takut terlambat.
Aku tidak ingin membuat Keinichi kebingungan seperti ini, tapi batinku entah kenapa gelisah melihat sosok Keinichi yang hendak pergi tadi. Seakan firasatku berkata…. akan terjadi sesuatu padanya.
“Aku…”, aku menahan kalimat ku lagi. Keinichi menunggu, kemudian aku lanjutkan, “Aku ingin kau tetap di sini… hanya bersamaku…”.
Keinichi terdiam. Ia mengerti, kata-kata yang ku tujukan bukan bermakna “Ayo main lagi” atau “Aku takut sendiri”, tapi sesuatu perasaan dari hatiku yang terdalam. Yaitu “Aku ingin kau di sini, bersamaku, tidak bersama dirinya”.
Aku benar-benar tidak berhak menahannya, tapi kalimat itu tak sanggup lagi kupendam. Aku tahu Ia telah memiliki pacar, Yume namanya. Tetapi… walau Ia hanya tetanggaku, teman sepermainanku, aku mencintainya….
Ingatan itu terulang kembali, waktu seakan mundur ketika umurku 8 tahun. Kenangan yang tak akan pernah kulupakan, perjumpaan ku dengan Keinichi.
Berawal dari teriakannya yang tiba-tiba berada di depanku. Ia menatapku dengan mata berbinar-binar……
“ Hwaaa!!! Aku baru tahu tante sebelah kamarku punya anak cewek!”, Ucapnya girang.
“Huh!, Jelas aja dia kagak tau! Aku kan jarang keluar kamar!”, batinku. Aku pun cemberut dan tertunduk.
“ Hey, angkat wajahmu dong…”, ucapnya lembut sambil mengangkat wajahku dengan kedua tangannya. Aku pun bertatapan dengannya. Dia tersenyum. Dan mukaku seketika merah bersemu.
Aku memerhatikannya, kalau dilihat-lihat, dia sepertinya seumuran dengan ku. Dia kelihatan bodoh! Tapi… baik hati. Ah, dan dia benar-benar nakal! Masa masih kecil sudah meng-ecat rambutnya dengan warna coklat?!
Ia kemudian mengulurkan tangannya.
“Namaku Sawaguchi Kenichi, tapi panggil saja Kenichi!”. Dan dilanjuti dengan senyum ikhlasnya.
Aku terpana melihatnya,, pada pandangan pertama aku menganggapnya matahari.
“Aku… Kimiwari…. Kimiwari Haruka”, balasku menjabat tangannya.
“Hmmm….”, gumam Kenichi sambil memegang dagunya--- pose berfikir. “Aku panggil Haruka saja ya?”. Dia tersenyum lebih ceria dari yang tadi.
Aku benar-benar beruntung. Pertama kalinya aku hendak keluar kamar apartemen ini, aku bertemu dengan Matahari. Matahari yang akan mencerahkan hari-hari ku. Dan aku tidak akan sedih lagi karena perceraian orangtua ku.
Aku pindah ke apartemen ini karena orang tuaku bercerai, aku mengikuti Ibu ku. Tapi selama ini aku menghabiskan waktu sendirian. Semua tak seperti dulu lagi. Ibu benar-benar sibuk, Ia pulang tengah malam dan pergi pagi sekali. Setiap harinya begitu…..
“ Kau hendak bermain kan?”, tanyanya. “Di taman bawah, ada teman-teman ku. Nanti kuperkenalkan!”, ucapnya sambil menarik tanganku berlari menuju lift. Sesampainya di lift Ia masih menggenggam tanganku dan meneruskan kalimatnya, “ Kau kan baru pindah ke apartemen ini, kau pasti susah untuk bersosialisasi. Hmm, jadi… biar aku yang temani!”.
Aku langsung melotot. Sembarangan! Dia kira aku ‘gak punya bakat sosialisasi apa?!
Pffh… hihi....
“ Hey, kenapa tertawa?”, Keinichi hanya bingung melihatku. Aku pun jadi makin ingin tertawa.
“Hey??!”.
Dan pintu lift pun tertutup.
“Haruka…”.
Tiba-tiba saja lamunanku buyar. Suara hangat Keinichi mengembalikan ku ke saat ini…
“Haruka, bukankah aku pernah berkata bahwa aku, sebagai laki-laki, tidak akan melanggar perkataan ku”.
Ya… Itu benar, Keinichi…. Semenjak percaraian orangtuaku, aku membenci ayahku. Ia berselingkuh dengan perempuan lain. Dan karena itu pula aku membenci semua sosok pria.
Tapi, Keinichi yang mendengar keluh kesahku itu langsung berkata kepadaku….. “Aku laki-laki! Dan akan kubuktikan kalau aku tidak akan menarik janjiku!”. Kata yang sama seperti sekarang.
“Iya…. Kamu pasti tidak akan seperti ayahku…”, ucapku miris.
Tak lama kemudian aku pun menangis. Aku menutup mukaku dengan kedua tanganku. Aku menangis tanpa suara.
Keinichi mendekatiku, Ia menarik tanganku lembut. Ia menggenggam kedua tanganku.
“Hey… Ayo perlihatkan wajahmu…”.
Aku pun menunduk dalam, kembali menyembunyikan air mataku. Agar wajah yang menyedihkan ini tak bisa terlihat olehnya….
Keinichi memandangiku, kemudian ia mengangkat wajahku dengan lembut dan dengan sabar. Kini wajah yang sudah terbasahi air mata berhadapan dengan kehangatannya.
“Jangan menangis lagi, aku tak mau kau menangis, Haruka. Aku sudah berjanji di dalam hatiku sejak bertemu denganmu dulu… Aku akan membuatmu tertawa dan tak akan menangis!”, ucapnya dengan pandangan yang lurus menatapku.
“Itulah janjiku dulu… Makanya… Jangan menangis ya…”, lanjutnya sambil tersenyum dan menghapus air mataku perlahan dengan jarinya.
“Aku mencintai Yumeko, pacarku. Aku tidak akan dan tak sanggup mengkhianatinya”. Aku memandanginya, Ia mengucapkan itu dengan penuh kesungguhan. Mata yang lurus.
Aku sudah tahu itu Keinichi…. Dari dulu aku sudah tau kau mencintainya.
Ingatan ku kembali saat setelah ke luar dari lift. Sesampainya di lantai dasar, aku ditarik Keinichi pergi menuju taman. Di sana aku bertemu dengan banyak anak-anak seumuranku. Semuanya teman Keinichi.
“Hei, Keinichi! Kau ini lama sekali! Kami semua sudah menunggumu dari tadi tau!”, marah salah satu teman Keinichi yang bertumbuh gembul. Kemudian ia menatapku dan menunjukku. “Kau malah berpacaran dengan cewek itu ya?!”.
“Cie~ Keinichi~”, teman-teman yang lain menggodanya. Terdengar pula suit-suitan dari beberapa anak cowok.
Aku pun memerah. Keinichi malah balik marah.
“Hei hei!! Ada-ada saja! Ini teman baru kita!”, kata Keinichi dengan muka penuh bangga, seperti baru saja menemukan harta karun. Dan yang lainnya pun mulai terkagum-kagum.
“Heee… kau di kamar nomor berapa??”, tanya salah satu anak.
“Baru pindah ya”, tanya yang lain.
“Hey namamu siapa??”.
“Kenalan dong~”.
“Aku ingin menjadi temanmu!”.
Beribu pertannyaan tiba-tiba menerjangku. Dan aku sangat kesal.
“Berisik sekali!!!”, batinku geram. Tapi Keinichi menepuk pundakku.
“Di jawab dong Haruka..”, kata Keinichi. Aku menatapnya. Ia pun tersenyum lebar.
Baiklah…
“Aku Haruka Kimiwari! Di kamar nomor 102 lantai 2! Salam kenal!”. Kalau bukan karena senyumnya aku pasti tidak akan otomatis menjawab seperti itu.
“Ooh!!! Berarti tetangganya Keinichi ya? Keinichi kamar nomor 103”, ucap seorang anak perempuan.
Aku terdiam.
Jadi begitu ya… Aku tetangganya Keinichi.
Tanpa sadar aku tersenyum sendiri.
“Keinichi! Hari ini kita main penjelajahan saja yuk!”, saran anak yang dari tadi tak sabar ingin bermain.
“Boleh boleh!!”, sahut Keinichi.
Dia ini seperti pemimpin mereka saja! Atau… memang Iya??
“Haruka! Kita akan berpetualang ke luar daerah apartemen ini!”, jelas Keinichi dengan suara riangnya.
“Eeh… tapi aku… aku agak khawatir… soalnya kan ini pertama kalinya aku di daerah sini…”, jelasku sambil memainkan jari tanganku takut-takut.
“Tak usah takut… Aku kan bersamamu Haruka!”. Kalimat hangat yang keluar dari mulut Keinichi seakan penuh dengan sihir. Hanya dengan kalimat itu keberanianku muncul. Dan aku dengan mantapnya menjelajah bersama yang lainnya.
Di tengah perjalanan, Keinichi menemukan tsukushi yang indah. Tidak habis beruntung pikirku. Ia malah mempersembahkan bunga itu untukku.
Saat itu aku benar-benar berfikir kalau aku… aku telah jatuh cinta. Dan…. dan keinichi pun memiliki perasaan yang sama dengan ku.
Hingga akhirnya, waktu pun berlalu. Aku telah menginjak bangku SMP. Aku telah terbiasa atau… amat sangat terbiasa dengan lingkungan baruku ini. Kesedihan yang kualami tidak pernah kupikirkan lagi. Semua berkat Keinichi.
Aku melewati masa-masaku hingga masa remaja bersama Keinichi. Seiring itu aku memerhatikan perkembangannya. Kini Keinichi bertambah tinggi, bertambah besar, bertambah tampan dan bertambah gagah.
Tapi sayang, aku tidak satu sekolah dengannya. Ibuku mendaftarkan ku di sekolah khusus putri. Biar ‘gak macam-macam katanya. Yah… apa boleh buat. Aku tidak bisa membantahnya. Aku menyadari, semenjak di tinggal ayah, hati ibu mulai rapuh. Aku tidak mau menyakitinya.
“Haruka Haruka!!!”. Aku yang sedang mencuci piring pun sontak berlari menghampiri sang pemilik suara. Siapa lagi orang yang mampu membuatku berdebar-debar dan langsung menghampirinya walau tanganku masih bersabun dan memegang sebuah piring. Ya, Keinichi.
“Apa sih Ken?”, tanyaku basa-basi setelah membuka pintu kamar. Keinichi sekarang berada tepat di pintu kamarku. Dia seperti habis berlari.
“Di kejar anjing ya?”, tanyaku heran.
Keinichi belum membalas, ia masih mengatur nafasnya yang ngos-ngosan.
Ngapain sih dia?? Ampe wajahnya merah gitu?? Jangan-jangan ditagih hutang nih anak!
Setelah nafasnya sudah seirama, Ia mengangkat kedua tangannya tinggi. “Yeaiii!!!”, soraknya girang. Aku pun jadi ikut girang.
“Coba tebak!!!”
“Kamu nemu 1000 Yen di tengah jalan?”
“Kha Kha Kha… Itu masih belum miracle!”
Aku pun berpikir lagi, Hal apa ya yang bisa bikin nih Keinichi masih dengan seragamnya, yang kayaknya begitu jam pulang gak langsung pulang, lari-lari dan pengen banget dibagi kebahagiaannya itu ke orang lain.
“Nyerah”, akhirnya hanya itu yang terpikirkan.
Keinichi pun tersenyum nyengir. Dia memamerkan giginya yang rapi.
“Aku baru aja nembak cewe yang kusuka”.
Bagai mendengar sesuatu yang salah. Aku mematung dan terdiam.
“A…apa…?”, tanyaku meyakinkan.
“Iya! Aku tuh udah suka dia dari awal masuk SMP! Baru kelas 2 ini aku berani nembak dia… dan ternyata aku diterima, Ka! Bayangin tuh! Gak nyangka! Pulangnya tadi aku langsung lari-lari gak jelas muterin apartemen..hhaha”.
Keinichi terus bercerita dengan semangat, Ia benar-benar kegirangan. Di sela-sela ceritanya ia juga menyisipkan gerakan-gerakan. Benar-benar bahagia, mukanya sampai memerah.
Tapi aku… bagaikan tuli, aku tidak mampu mendengar apa yang diucapkannya. Pandanganku kosong. Hatiku pecah, bagai piring bersabun yang merosot jatuh dari tanganku. PRANG!
Keinichi kaget, Ia berhenti bercerita.
“ Hei, Haruka! Piringnya, woi!”. Ia memainkan tangannya di hadapanku.
“ Haruuukaaa!!”.
Aku pun tersadar. Menoleh ke arahnya sebentar, membersihkan pecahan kaca dan langsung menutup pintu. Meninggalkan Keinichi yang bengong dengan tingkahku.
Baru kali itu aku tahu, kalau aku tidak terlihat sebagai perempuan di matanya. Melainkan hanya sebagai tetangga yang membutuhkan bantuan…..
Aku berhenti menangis. Aku memegang tangan Keinichi yang sedari tadi mengusap wajahku agar aku tenang. Aku menurunkan tangan hangatnya, kemudian aku menggeleng.
“ Aku sudah tidak apa-apa… maafkan aku..”.
Keinichi melihatku dengan seksama. Dan aku tersenyum.
“Benar, aku sudah tidak apa-apa”.
Ia pun menghembuskan nafas lega. Ia mengusap kepalaku. Dan berkata…
“Jangan sedih lagi ya…”.
Hatiku teriris. Aku sesak. Kumohon, jangan lebih baik daripada ini… aku akan susah melupakanmu…
Aku pun segera bangkit dan menariknya untuk bangkit juga. Aku mendorongnya mendekati pintu. “Ayo! Kamu nanti telat, lho!”, ucapku dengan senyum seikhlasnya. “Uups! Ini memang sudah telat ya?”.
Keinichi melirikku cemas, aku pun membalas dengan senyum.
“Hehe… maaf ya..”.
Aku pun mendorongnya lagi, hingga Ia sudah keluar dari kamarku. Kemudian aku menepuk pundaknya.
“Ucapkan maaf ku pada Yume ya?”.
Keinichi tersenyum padaku, tapi senyumnya masih menunjukkan bahwa Ia khawatir padaku.
“ Oke! Bye”, Keinichi melambaikan tangannya dan kemudian berlari. Aku hanya bisa melihat punggungnya yang tegap dan penuh dan kasih sayang makin menghilang di kejauhan.
“Bye”, ucapku.
Pemakaman yang kelam di hari yang gelap. Gagak-gagak berterbangan. Semuanya tampak samar bagiku, orang-orang yang berkumpul dan menangis, pakaian hitam dan serba hitam, bunga-bunga yang dibawakan, asap dupa yang tebal, serta batu nisan yang tertera nama. Keinichi Sawaguchi.
Aku masih tak percaya akan semua ini. Semuanya begitu cepat. Aku benar-benar tak sanggup untuk berdiri lagi. Aku…
Seketika seorang wanita yang sebaya denganku, berambut panjang terurai, datang menahan jatuhku.
“Kau tidak apa-apa, Haruka?”.
Aku melihatnya dengan mata yang susah untuk dibuka. Gadis ini…
“Yume…”, ucapku. Tak terbendung lagi tangisku pecah. Aku menangis dipelukannya.
“Aku yang membunuhnya, Yume! Itu aku! Aku yang membuatnya telat datang saat janjian denganmu!”, ucapku terisak-terisak. Aku tidak peduli semua pandangan orang yang melihat ke arah kami.
“Seandainya dia datang tepat waktu… pasti… pasti tidak akan begini….”, tangisku makin pecah. Yume masih menahan tubuhku dengan erat agar aku tak terjatuh. Ia tahu kalau aku memang tak sanggup lagi untuk berdiri.
“Bukan, Haruka”, katanya. Ia mengusap-usap punggungku lembut. “Bukan salahmu, kamu jangan berpikir seperti itu”.
Aku melepaskan diri dari dekapannya. Aku memelototinya tajam.
“Kau tahu apa Yume!! Aku yang membuatnya berlari tergesa-gesa menemuimu! Sehingga… sehingga truk itu… truk itu…”. Berbagai bayangan terlintas di pikiranku. Bagaimana Kenichi di tabrak, ekspresinya yang kesakitan. Aku mulai berkeringat dingin, Yume seperti tak terlihat lagi di hadapanku.
Tetapi kelembutan tiba-tiba menyadarkanku. Yume memelukku. Kali ini lebih erat dan lembut.
“Memangnya lantas itu jadi salahmu? Apa Keinichi mengajarimu untuk menyalahi dirimu?”, ujarnya tegas tetapi tidak mengurangi kelembutannya.
Dalam pelukannya, aku terdiam.
Aku melihat nisan Keinichi. “Benar”, ucapku pelan. “Keinichi tidak akan membiarkanku sedih… Ia akan tersenyum seperti biasanya, Ia akan bilang semua baik-baik saja… ukh…”. Aku terisak-isak lagi. Semua tentang Keinichi terulang di kepalaku. Tawanya, senyumnya, kebaikannya, dan… perkataannya… bahwa aku… aku tak boleh bersedih.
“Jangan bersedih lagi ya, Haruka”.
“Jangan menangis lagi”.
Aku memeluk Yume. Aku menangis dengan kencang di pundaknya. Yume memang benar-benar gadis yang tegar. Aku bersyukur kaulah wanita yang dipilih Keinichi. Dan aku berpikir bahwa kau dipilih untuk menemaniku.
Terima kasih Keinichi. Aku akan berusaha tegar dan kuat walau banyak masalah mendatangiku, seperti tsukushi indah yang kau berikan padaku.
Huahahaha... malu-maluin emang nih cerpen.. :D Ini cerpen gue buat waktu gue kelas 2 SMA. Terinspirasi lagu akhir Naruto, Long Kiss Good Bye. Makanya jadi berbau Jepang-jepang gitu..hhe.. Maaf ya kalo yang baca langsung mau muntah.. (y)
2 komentar on "TSUKUSHI ( BUNGA LIAR )"
bagussss.......
makasih ifaah :D hhe jdi malu..
Posting Komentar